Biarkan Aku Yang Pergi,Selamat Tinggal...



Malam yang sejuk menemani kesepianku. Angin malam ikut membelai lembut rambutku. Temaniku yang tengah sendiri memandang indahnya bumi. Juga sebagai rekan paling setia dikesendirianku dalam ketidakadilan ini.
“Oh Tuhan, kapan seluruhnya bakal beralih? ” tanyaku dalam pengharapan.

Mendadak pintu kamarku diketuk dengan cukup pelan.
“pasti bi Imah. ” Tebakku
“iya, sebentar! ” sahutku sambil jalan dari serambi kamar.
“Maaf non, waktunya makan malam. Yang lain telah ngumpul di bawah. ” Ucap Bi Imah waktu pintu kamarku terbuka.
“ok bi Dera juga telah lapeer banget. ” Candaku padanya.
Bi Imah yaitu seorang yang merawatku mulai sejak lahir. Bagiku, ia telah seperti Ibu kandungku. Dirumahku, cuma Bi Imah yang perduli dengan keadaanku. Sewaktu saya sakit, cuma ia yang senantiasa ribet mempersiapkan obat, cuma ia yang senantiasa tahu begitu sedihnya saya sewaktu nilai raportku jauh dari nilai kak Dara. Cuma ia yang tahu begitu saya mau seperti kak Dara, saudara kembarku.
****


Biarlah Saya yang Pergi
“wah ada ayam bakar nih. Heem maknyus” ucapku seraya menempati kursi favoritku.
“dasar tidak sopan…” sindir Bapak padaku.
“makanya, janganlah nyerocos saja dong jadi cewek. ” Timpal kakakku, Virgo.
“iya Dera, anda duduk dahulu baru ngomong, kan ada Ayah sama Ibu di sini. Jadi sopan dikit Ra. ” Lebih Kak Dara.
“iya Dera, benar tuh kata Dara. Contoh dia. ” Lebih Ibu lagi.
“ok, saya pergi. Silakan makan!! ” ucapku dengan sinis.
Akupun bergegas naik menuju kamarku tanpa ada sedikitpun menyentuh makanan di sana. Walau sebenarnya maagku kambuh serta terasa sangatlah perih. Namun lebih perih lagi sewaktu saya tidak pernah memperoleh kasih sayang dari kebanyakan orang yang saya sayangi.
****

Matahari menjelma masuk kedalam kamarku yang pemiliknya masih tetap tertidur lelap. Sampai saya terbangun lantaran silaunya cahaya yang menimpa mataku.
“humh, telah pagi to” ucapku pada diri sendiri,

Saya bergegas mandi serta menggunakan baju sekolahku. Dengan aksesori biru yang komplit. Pagi ini, saya tidak mau sarapan. Saya cuma berkunjung ke Bi Imah yang nyatanya tengah mempersiapkan bekal untukku.
“makasih ya Bi, Dera sayang Bibi. ” Ucapku dengan tulus padanya
“iya non, Bibi juga sayangg banget sama non Dera, semangat ya Non sekolahnya. ” Sahut bi Imah menyemangati.
Setibanya disekolah, saya selekasnya menuju ruang tempatku ulangan. Jadwal hari ini yaitu matematika serta bhs inggris. Pelajaran mengkalkulasi yang sangatlah menjengkelkan untukku. Lantaran saya tidak seperti kak Dara yang jago mengkalkulasi. Sangkaanku pas, masalah kesempatan ini susahnya minta ampun. Sampai kertas ulanganku nyaris tidak terisi. Tetapi bila bhs inggris, inilah kehebatanku. Seluruhnya masalah bisa kukerjakan dengan gampang. Lantaran mulai sejak kecil saya telah sangatlah hebat berbahasa inggris. Seperti Om Frans serta Tante Siska yang semasa di Jakarta sangatlah menyayangiku jauh semakin besar dari orangtua kandungku. Tetapi saat ini mereka sudah geser ke Amerika dengan anaknya, Dimas.
****

Saat seolah jalan dengan sungguh cepat, saat ini waktunya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, saya serta kak Dera tidak sama kelas serta sekolah. Bila saya masih tetap ada dikelas satu SMA, sedang ia telah ada dikelas dua. Seluruhnya berlangsung lantaran saya pernah tidak naik kelas pada saat disekolah basic. Bila kak Dara berniat Ayah sekolahkah di sekolah terfavorit di Jakarta, sedang saya bersekolah di SMA yang didalamnya hanya siswa buangan dari sekolah lain yg tidak terima kami. Lantaran nilaiku tidak sehebat nilai kak Dara serta Kak Virgo. Mereka mempunyai IQ yang tambah lebih tinggi dari pada saya.
“Pa, ambilin raport Dera ya. ” Pintaku
“Papa telah janji sama Dara bila Ayah yang bakal mengambilkan raportnya. Kalian kan beda sekolah. ” Jawab Ayahku.
“Ma, ambilin raport Dera ya! ” pintaku lagi pada Ibu.
“Mama telah janji sama Virgo ngambilib raportnya, dia kan telah kelas tiga jadi mesti diwakilin. ” Jawab Ibu.
“oh gitu ya. ” Balasku dengan kecewa.

Saya cuma dapat menangis sendirian di dalam kamar. Tak ada satu orangpun yang ingin mengambilkan raportku. Jalan paling akhir yaitu Bi Imah. Serta sudah pasti ia sangatlah ingin mengambilkan raportku.
“Gimana bi akhirnya? ” tanyaku dengan penasaran
“Non Dera juara 1 non. ” Ucap bi Imah dengan semangat.
“hah? Beneran bi? ” sahutku tidak kalah semangat.
Nyatanya usahaku tidak percuma, pada akhirnya saya dapat menyamakan prestasi kak Dara.
****

Setibanya dirumah, kebanyakan orang yang tengah tertawa ria lihat hasil belajar kak Dara serta kak Virgo jadi terdiam sewaktu kedatanganku serta Bi Imah.
“gimana akhirnya Ra?, pasti buruk. ” Ucap kak Virgo menyindirku.
“gak ko, saya juara 1. ” Ucapku dengan semangat.
“ah, juara 1 disekolahmu pasti juara paling akhir dikelas Dara. ” Ledek Bapak padaku.

Saya kecewa, betul-betul kecewa lantaran seluruhnya prestasi yang kuraih tidak penah dihargai sekalipun. Dengan kecewa saya lari menuju kamarku, kuratapi seluruhnya ketidakadilan ini. Saya tak keluar kamar sepanjang dua haripun tidak ada yang perduli. Kebanyakan orang dirumah cuma repot dengan pekerjaannya semasing, tidak kecuali Bi Imah yang nyaris tiap-tiap jam membujukku untuk keluar. Maagku kambuh, terasa teramat perih dari yang umumnya.
“oh Tuhan, kuatkan saya! ” pintaku

Dihari ketiga tindakan diamku dikamar, mendadak rumahku terdengar suatu nada yang sangatlah kukenal. Nyatanya hari ini, keluarga Om Frans telah tiba di Jakarta untuk liburan berbarengan keluarga kami.
“Dimas? Saya merindukanmu. ” Ucapku dengan tertunduk lesu dikamar.
Saya keluar kamar untuk menemuinya, tetapi nyatanya ia telah beralih serta tidak perduli lagi padaku. Seluruhnya betul-betul beralih, serta saat ini janjinya ia ingkari untuk menemuiku. Penantianku percuma, kebanyakan orang sudah membenciku serta menjauhiku. Saya sendirian dirumah, bi Imah pulang kekampung lantaran anaknya sakit. Sedang yang lain tengah makan malam dihotel. Serta saya? Tertinggal di sini.
****

Saya cuma makan serta selalu memasukkan roti berselai srikaya kemulutku. Sedang yang lain asik berbincang-bincang dengan topic kak Dara serta Dimas. Yang saya tahu, mereka selalu membanggakan dua orang yang berprestasi itu. Sampai Om Frans serta Tante Siska juga ikut beralih padaku. Kebanyakan orang mengucilkanku di sini. Setelah sarapan pagiku habis, saya selekasnya pamit menuju taman belakang yang nyatanya di sana ada kak Dara serta seorang yang sangatlah saya sayangi, kak Dimas. Di sana, saya tengah melihatnya memberi setangkai mawar pada kak Dara. Nyatanya mereka telah jadian serta saya tahu, bahwa kak Dimas sudah melupakanku.
****

Pada akhirnya, hari yang sudah lama kunantikan tiba juga. Hari ini, kompetisi karateku bakal berjalan. Tetapi sayang, kebanyakan orang yang kusayang tidak ada yang ingin ada di sini. Seluruhnya pilih ada dilomba kak Dara, olimoiade sains. Walaupun sedikit kecewa, bakal kubuktikan bahwa saya yaitu Dera yang hebat. Hasratku terwujud, saya menang serta mencapai juara satu dipertandingan karate nasional yang diselenggarakan di Jakarta.
“kita panggil, juara nasional karate th. ini. Alderaya Zivanna dari Jakarta. ” Panggil pembawa acara.
Dengan diiringi tepuk tangan meriah, ku naiki podium kebesaranku, serta kurasakan saya sangatlah dihargai di sini.
****

Setibanya dirumah, kuletakkan photo kesuksesanku diruang tamu, tetapi sewaktu kehadiran kak Dara serta yang lain, kulihat kemurungan di sana. Serta sesudah lihat photo kesuksesanku, kak Dara jadi menangis serta lari menuju kamarnya.
“kamu berniat meledek Dara? ” Bertanya Ayah dengan sinis.
“gak pa! maksud Ayah apa sih? ” tanyaku tidak tahu.
“Dara kalah sedang anda menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini. kamu paham.kamu mengerti kan bahwa diruang ini cuma foto-foto kesuksesan Dara yang bisa menempatinya. ” Jawab Ayah yang membuatku sangatlah kecewa.
“Lepas Fotomu! ” ucap Ibu dengan agak ketus padaku.

Kulepas photo yang sangatlah saya berharap jadi penghubung supaya keluargaku menyanjungku. Suatu harapan yang mulai sejak dahulu senantiasa ku kehendaki. Lantaran saya senantiasa iri disetiap kak Dara dipuji serta disanjung oleh ayah serta ibu, dan seluruhnya tamu yang pernah bertandang kerumahku. Saat ini pertanyaan terbesarku yaitu,
“apakah saya anak kandungmu Ma? Pa? ”
Pertanyaan yang tidak pernah terjawab oleh lisan, tetapi terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seseorang anak yang senantiasa tersingkirkan oleh ketidakadilan.
****

Hari untuk hari selalu bertukar, serta sejak itu juga kak Dara jadi seorang yang terpuruk. Saya dapat rasakan perasaannya yang tertekan lantaran ia kalah diolimpiade. Yang kutahu, saudara kembarku ini tampak lemah dari yang umumnya.
“Udahlah kak, tidak ada gunanya ditangisin selalu. ” Ucapku menyemangati.
“udahlah Ra, anda suka kan ngeliat saya kaya gini? Anda suka kan ngeliat saya kalah? ” jawabnya dengan menangis.
“gak ka, tidak. Saya tidak pernah ada niatan kaya gitu. ” Sahutku.
“udahlah, pergi anda dari kamarku, pergi…” ucapnya terpotong lantaran pada akhirnya ia terjatuh pas didepanku.
“Pa, Ma, tolong kak Dara. Kak Dara pingsan Pa! ” beritahuku
“apa? Anda apain sih dia? ” Bertanya Ayah sinis padaku.
“aku, saya tidak ada ngapa-ngapain dia pa. ” sahutku dengan menyembunyikan kesakitanku.
“pasti penyakitnya kambuh lagi pa, mari cepat kita bawa kerumah sakit. ” Ucapku pada Ayah.
****

Hari ini pas satu minggu saat sebelum lagi tahunku dengan kak Dara. Saya takut kehilangannya, saudara kembarku yang sangatlah saya sayangi. Dokter katakan bahwa ginjalnya telah betul-betul rusak. Yang saya tahu, saat ini ginjalnya cuma satu sesudah satu tahun waktu lalu satu ginjalnya telah diangkat. Sedang saya masih tetap memiliki dua ginjal.
“hanya saudara kembarnya yang ginjalnya pas dengan Dara. Jadi upayakan dengan secepat-cepatnya diselenggarakan pencangkokan ginjal Pak” beritahu dokter pada Ayah.

Kemudian, saya jadi tujuan kebanyakan orang yang menyayangi kak Dara. Seluruhnya memintaku untuk mendonorkan satu ginjalku padanya. Niatku memanglah telah bulat bahwa saya bakal mendonorkan ke-2 ginjalku pada kak Dara, namun saya tidak mau ada yang tahu seluruhnya. Lantaran saya tidak ingin mereka bakal menyayangiku lantaran bersimpati denganku yang sudah memberi satu ginjal pada saudaraku. Saya cuma mau kasih sayang tulus dari mereka, entahlah bagaimanakah langkahnya supaya saya memperolehnya.
“ah sudahlah Dera, anda memanglah saudara yang kejam. Cuma menyumbangkan satu ginjal saja tidak ingin. Untunglah ada seorang yang baik hati yang ingin menyumbangkannya pada Dara. ” Ucap Papa
“aku kecewa sama anda Dera, tega ya anda sama kakak anda sendiri. ” Ucap Dimas dengan kecewa padaku.
“siapa yang mendonorkan ginjalnya Pa? ” Bertanya kak Virgo.
“entahlah, pendonor itu tidak ingin diberitahu namanya. Bahkan juga ia memberi dua ginjalnya dengan gratis pada Dara. Dia betul-betul berhati malaikat. ” Jawab ayah.
“andaikan kalian tahu bila itu saya? Apakah saya bakal di beri penghargaan dari Ayah? ” gumamku dalam hati.
****

Sebagian jam saat sebelum operasi pencangkokan dikerjakan, saya menulis suatu surat untuk kebanyakan orang yang saya sayangi. Entahlah, saya terasa bakal meninggalkan mereka seluruhnya. Terasa, saya telah sangatlah capek dengan hidupku sendiri. Setelah usai ku catat, surat itu kutitipkan pada Bi Imah. Akupun pergi menuju rumah sakit untuk selekasnya melakukan operasi.

@ ruangan operasi
Ruangan ini tersasa demikian menakutkan. Seluruhnya benda yang kulihat hanya jarum suntik serta gunting. Alat-alat yang tampak menakutkan bagiku. Saya dibawa lebih dahulu keruang ini, supaya tak ada yang tahu siapa saya sesungguhnya. Posisiku serta kak Dara dipisahkan oleh dinding pembatas. Sampai pada akhirnya saya dibius, serta kurasakan seluruhnya gelap.
****

Satu minggu lalu. . . .
“akhirnya anda sembuh juga sayang. Ibu cemas banget sama anda mulai sejak anda dioperasi. Untung ada pendonor itu. ” Ucap Mamanya dengan penuh kasih sayang.
“Dan Happy Brithday Dara…” ucap kebanyakan orang serentak
“Makasih ya seluruhnya. Saya sukagg banget. Oya, Dera mana ya Ma? Tidak tau mengapa Dara kepikiran dia selalu. Hari ini kan lagi th. kami” Sahut Dara.
“iya ya? Mana dia Bi? ” Bertanya Ibunya pada Bi Imah
“Sebentar nyonya. ” Jawab Bi Imah dengan lari menuju kamar Dara.

Serta sebagian menit lalu telah tiba dengan membawa sepucuk surat.
“ini surat dari Non Dera saat sebelum pergi. ” Beritahu Bi Imah.
Walaupun agak heran, Ibunya juga membacanya dengan agak keras.
Untuk kebanyakan orang yang sangaaat Dera sayang
Mungkin saja waktu kalian baca surat ini Dera tidak ada lagi di sini. Dera telah pergi ketempat yang saangaat jaauh. Oya, bagaimana berita kak Dara? Tidak sakit lagi kan? Mudah-mudahan ginjalku bisa membantumu untuk mencapai seluruhnya mimpi-mimpimu yang belum terwujud.

Teruntuk PAPA yang SANGAT KURINDUKAN
Bagaimana Pa? rumah kita telah tenang belum? Tidak ada yang tidak sopan lagi kan? Oh pasti tidak ada dong ya? Ya iyalah, Dera si pembuat onar kan telah tidak ada.

Teruntuk MAMA yang SANGAT-SANGAT KU RINDUKAN
Ma, Dera juga bakal sangatlah rindu dengan teddy bear pemberian Ibu lima th. waktu lalu. Ma, Dera kangeeen banget pelukan Ibu. Dera senantiasa iri waktu Ibu cuma mencium kak Dara sewaktu ia tidur. Dera iri lihat Ibu yang senantiasa menyemangati kak Dara sewaktu ia tengah sedih. Dera iri dengan seluruhnya perhatian yang Ibu berikanlah pada kak Virgo serta kak Dara. Dera sangaat iri.

Teruntuk KAK VIRGO serta saudara kembarku, DARA
Bagaimana kak, tidak ada lagi kan yang ganggu kalian belajar? Tidak ada lagi kan yang nyetel music keras-keras dikamar? Pasti rumah kita tenang ya, yang pasti tidak bakal ada lagi yang bakal bikin kalian malu lantaran mempunyai saudara yang bodoh bukan? Oh, yang pasti. Oya, SELAMAT ULANG TAHUN YA KAK, SELAMAT MENJALANI UMURMU YANG KE-17 TAHUN. Yang mungkin saja takkan pernah saya rasakan.

Kalian seluruhnya mesti tau, begitu AKU SANGAT MENYAYANGI KALIAN. Mungkin saja dengan kepergianku, smeuanya bakal tenang serta rumah kita jadi tentram. Dera berharap, tidak aka ada lagi yang terkucilkan seperti Dera. Yang senantiasa menangis tiap-tiap malam. Yang senantiasa merindukan hangatnya kekeluargaan. Mungkin saja dengan kepergian ini, saya bakal tahu bagaimanakah kalian bakal mengenangku, seperti akuyang senantiasa kembali kenang kalian tiap-tiap malam dengan tangisan. . . Mudah-mudahan KALIAN SEMUA BAHAGIA TANPA DERA, AAMIIN.
Salam rindu penuh tangis bahagia

Alderaya Zivanna
Seluruhnya yang mendengar menangis. Mereka bertanya-tanya pada Bi Imah di mana Dera. Tetapi mendadak telephone rumah berbunyi..
“iya, saya Hermawan, ada apa ya? ” Bertanya Papanya dengan penasaran.

Serta tidak lama kemudian Papanya menangis serta selekasnya mengajak anggota keluarganya ke Rumah sakit. Serta mereka terlambat, Dera sudah pergi untuk selamanya. Serta menginggalkan berjuta penyesalan disetiap tangis yang jatuh. Saat ini, ia sudah tenang serta jauh dari ketidakadilan sepanjang hidupnya. Walaupun air mata tengah menangisinya yang sudah pergi untuk selamanya. . .
The End
Previous
Next Post »

2 comments

Click here for comments
Unknown
admin
June 14, 2016 at 7:55 AM ×

lah ini tadi cerpen barusan ane baca di blog yang lain, macam mana pula ini

Reply
avatar
12345
admin
July 28, 2019 at 10:18 AM ×

Pengarang aslinya Dinda Pelangi

Reply
avatar