Pada suatu hari aku dan kedua temanku
mendapat undangan pertunjukan pentas tari di Taman Budaya Yogyakarta (dekat Malioboro
Yogyakarta), sebagai mahasiswa jurusan tari, kami pun sangat tertarik untuk datang.
Singkat cerita sekitar jam 10 malam acara pentas itu
berakhir, kami tidak langsung pulang saat itu dan baru setengah jam kemudian meninggalkan
lokasi . Tetapi satu teman yang bernama Jabrix, ijin untuk ke rumah saudaranya, akhirnya hanya
aku dan Dobleh yang kembali pulang ke rumah kontakan berboncengan dengan motor.
Di perjalanan menuju ke rumah, hujan turun dengan sangat lebatnya, aku kebetulan berada di
depan dan memakai jas hujan, sedangkan Dobleh mau nggak mau harus mengalah untuk
sedikit berhujan-hujanan.. he..he.. he… yah bagaimana lagi, jas hujannya cuma ada satu.
Ada sekitar setengah jam perjalanan menyeluri jalan Raya Bantul sampai akhirnya kami
berbelok ke kanan sampai ke pintu gerbang Kasongan. Kemudian barulah butuh 10 menit
lagi, kami akan sampai di perumahan.
Hujan mengguyur dengan lebatnya, sehingga cukup
mengganggu pandanganku yang sedang mengendarai motor supaya baik jalannya. Dan
kejadian aneh pun dimulai saat itu juga….
Kami mulai memasuki daerah yang gelap, karena memang untuk menuju ke rumah harus melewati
ladang-ladang yang jauh dari rumah-rumah penduduk, apa lagi daerah itu memang
digunakan untuk menanam tebu, dan saat itu ladang-ladang itu baru selesai di panen.
Seharusnya kami melewati satu pohon beringin yang besar yang berdiri di pinggir sisi kanan
jalan aspal dan setelah itu baru berbelok ke kiri untuk sampai ke jalan masuk ke perumahan.
Tapi entah kenapa saat itu, aku dan Dobleh tidak melihat ada satu pohon beringin pun sebagai
petunjuk jalan. Aneh saja, kami sudah berulang kali lewat sana pasti sudah hapallah, tapi saat
itu, berdua benar-benar tidak melihat pohon itu.
Hujan benar-benar luar biasa mengguyur daerah itu, sampai-sampai jalan yang kami lewati
tergenang, dan juga ladang-ladang di sekitar kami berubah menjadi seperti kolam dalam
ukuran besar.
Akhirnya aku melihat ada jalan yang berbelok ke kiri yang kukira akan menuju ke jalan untuk
menuju ke perumahan, motorku berbelok dan tidak sampai beberapa detik, kami berdua
terjungkal bersama motor dan jatuh masuk ke parit yang biasa dibuat di pinggir ladang dan
karena tergenang air tidak terlihat oleh kami, pilihan jalan yang salah.
Aku dan Dobleh langsung menarik motor dari parit itu dan kembali ke jalan aspal. Motor macet
karena mesinnya terendam air dan kami pun basah kuyup.
Perlu perjuangan dan bergantian untuk bisa kembali menghidupkan motor itu
dan untungnya mesin motor bisa hidup lagi walaupun
kaki-kaki kami terasa mau copot karena harus menginjak kick stater berulang-ulang.
Dan karena sudah basah kuyup, aku pun melepaskan
jas hujan dan melipatnya..Lalu kami kembali berboncengan, tapi kali ini
jalan dengan pelan-pelan sambil mencari-cari jalan yang berbelok ke kiri.
Aku dan Dobleh akhirnya menemukan satu jalan yang berbelok
ke kiri yang agak menurun (jalan aspal itu semakin menanjak), tapi karena tidak ingin
mengalami kejadian yang sama, apa lagi jalannya terendam air, kami menuruni belokan
itu sambil menuntun motor dalam keaadan mesin hidup,
dan ternyata roda depan kembali
terperosok, tapi untungnya kali ini kami tidak menaikinya, lalu cepat-cepat kami menarik
motor dan kembali ke jalan sebelumnya.
Dan itu tidak hanya 2 kali terjadi, mungkin ada sampai 5
kali kami mengalaminya. Saking putus asanya, kami memutuskan untuk memilih jalan lurus
saja, ada belokan ke kiri, kami sudah tidak pedulikan lagi (juga tidak yakin lagi), trauma
sudah.
Aku dan Dobleh berharap bisa menemukan seseorang untuk menanyakan jalan menuju ke
perumahan.
Dalam perjalanan menyelusuri jalan yang semakin lama semakin menanjak, motor berjalan
dengan pelan-pelan, di pinggir jalan, ada seorang simbah-simbah dengan memakai baju
petani pada umumnya dan memakai caping di kepalanya, berjalan dengan pelan berlawan arah.
( aku tidak tahu apakah itu seorang kakek atau nenek, karena memang gelap dan lampu
motorkupun tidak begitu terang)
Aku menyapanya dan melambatkan motor yang berdua tumpangi, “Mbah” sapaku , tapi ternyata
entahlah sepertinya beliau tidak mau membalas sapaanku dan tetap berjalan sambil
menundukkan kepala.
Mungkin seandainya beliau membalas salamku, aku akan bertanya
kepadanya, tetapi karena beliau sepertinya tidak mempedulikan kami, ya sudah, kami terus
berjalan.
Selepas itu sekitar 5 menitan, kami bertemu seorang pedagang angkringan yang sedang
membawa gerobaknya menuruni jalan yang juga kami sedang lewati, tapi sepertinya pedagang
angkringan itu susah payah menahan laju gerobaknya karena jalannya menurun,
membuatku tidak tega untuk bertanya kepadanya, kami terus saja melewatinya.
Setengah jam berjalan, akhirnya kami menemukan sebuah pertigaan dan kami kenal
secara pasti pertigaan itu, itu adalah jalan yang menuju ke Gua Selarong, dan kami sering ke
sana.
Dan itu membuat kami sadar, telah kesasar lebih dari 2 km dari lokasi seharusnya.
Dan aku pun menghentikan motor.
“Aduh, sudahlah kita balik saja, pokoknya kita susul yang jual angkringan tadi, cari minuman
hangat atau kalau ada makanan, sekalian istirahat dan santai dulu lah,”kataku kepada Dobleh.
Ia pun setuju, lalu dengan naik motor kami mencoba menyusul pedagang angkringan
tersebut, untunglah masih bisa terkejar oleh kami, dan untungnya juga pedagang itu mau
berhenti dan melayani kami, tapi yah sudah tidak ada apa-apa lagi, yang ada cuma kopi saja dan
rokok eceran, sial lagi airnya juga tidak terlalu panas, tapi kami nggak masalah dan minta
dibuatkan kopi 2 gelas.
Pokoknya bisa bikin hangat badan sajalah dan istirahat sejenak.
Si pedagang berbasa-basi, menanyakan dari mana dan di mana rumah kami, aku jawab kalau
dari Taman Budaya Yogyakarta, kami di tinggal di rumah kontrakan di perumahan A (maaf
kusamarkan namanya).
“Mas, kalau perumahan A itu di mana ya jalannya?” tanyaku agak malu-malu.
“Lho, gimana tho mas ini, katanya tinggal di perumahan itu, masak rumahnya sendiri tidak
tahu,” kata si pedagang sambil tertawa, tapi kemudian dia menunjukkan ke arah belakang
kami,
“Lha itu mas, jalan ke perumahan!”
Aku dan Dobleh mengarahkan pandangan kea rah yang ditunjuk oleh pedagang.
Ya ampun, ternyata jaraknya cuma sekitar 50 meter dari
posisi kami, hanya di batasi oleh ladang yang kosong, kami bisa melihat lampu penerangan
jalan masuk dan lampu-lampu di perumahan itu.
Sedangkan sebelumnya kami sama sekali tidak melihatnya.
Dan sepertinya pedagang itu paham dengan keadaan yang sedang aku dan Dobleh alami, lalu
dia bertanya kepada kami berdua, “Mas tadi ketemu sama simbah-simbah ya?”
“Iya mas, kok ngerti?” jawab kami bersamaan juga heran atas perkataannya.
“Untung mas, kalian ketemu sama simbah- simbah itu, kalau nggak mas, saya jamin
pulangnya besok pagi. Biasa itu mas kalau di daerah sini kejadian seperti itu. Banyak yang
dibikin bingung di daerah ini, muter-muter tanpa tahu harus ke mana, tapi setelah mereka ketemu
simbah-simbah sedang jalan, barulah mereka bisa pulih dari kebingungan .
Untung juga ketemu saya lho, kalau nggak pasti tetap kebingungan khan,” katanya sambil sedikit bercanda.
Setelah menghabiskan kopi dan rokok, kami membayar agak lebih dari harga sebenarnya,
sebagai ucapan terima kasihi kami atas bantuannya. Kami pamit dan meluncur ke rumah
kontrakan kami, sampai di dalam rumah, kami melihat jam di dinding menunjukkan pukul 3 dini
hari.
Wow berarti dari sekitar jam 11 malam kami muter-muter sampai berjam-jam cari jalan ke
rumah kami.
ConversionConversion EmoticonEmoticon